Globalisasi dan Budaya Konsumtif
Masuknya arus globalisasi kedalam sendi-sendi kehidupan telah
mempengaruhi semua aspek kehidupan. Globalisasi adalah suatu proses tatanan
masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada
hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian
ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik
kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh
dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk. Kewarganegaraan. 2005).
Disinilah globalisasi membawa dampak
positif dan negatif yang tak bisa terelakkan. Peradaban Barat menjadi kiblat
masyarakat pada saat ini, karena memang harus diakui negara-negara Barat unggul
dalam menciptakan inovasi-inovasi. Sayangnya, masyarakat kita di Indonesia
belum banyak yang tergerak untuk membuat Indonesia menjadi negara yang unggul.
Malah ikut arus dan melupakan nilai-nilai pancasila dan budaya tradisional
Indonesia. Remaja-remaja kita sudah terlalu dekat dengan budaya konsumtif, maka
tidak mengherankan budaya ini mendorong perilaku korup.
Riskannya, di lapisan masyarakat khususnya
remaja atau biasa disebut ABG (Anak Baru Gede) belum bisa mengoptimalkan
globalisasi untuk hal yang positif. Kenapa remaja, karena masa remaja adalah
masa yang masih labil, masa pencarian jati diri, maka dari itu masih mudah dijejali
oleh berbagai hal. Sebaliknya, dewasa ini budaya konsumtif malah makin terlihat
pada diri remaja-remaja yang berdomisili di ibukota atau di kota-kota besar.
Bahkan budaya baru yang identik dengan kemewahan ini muncul di daerah yang
masih tertinggal dan penduduknya relatif belum sejahtera. Dalam artian luas,
konsumtif adalah perilaku boros dan berlebihan, yang mendahulukan keinginan
daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas juga dapat diartikan
sebagai gaya hidup bermewah-mewahan.
Tengok saja pada kebiasaan para remaja saat
ini, lebih menyukai budaya asing ketimbang budaya bangsanya sendiri yang
dianggap kolot. Sangat berbeda dengan kaum muda saat negara ini belum
mendapatkan kemerdekaannya. Golongan muda berperan penting mendesak Presiden
Soekarno agar cepat-cepat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Di jaman
Soeharto para mahasiswa menggelar demo besar-besaran menuntut turunnya
Soeharto. Ini adalah bukti bahwa dulu kaum muda adalah salah satu bagian
penting dari peristiwa-peristiwa bersejarah. Saat ini kaum muda cenderung lebih
pasif dengan lebih mementingkan kesenangan masa mudanya, daripada membuat suatu
perubahan yang signifikan bagi Negaranya.
Globalisasi tidak hanya tentang
teknologi, tapi juga menyangkut gaya hidup. Dari mulai fashion, gadget, makanan, musik, dan lain-lain.
Tidak dapat dipungkiri, sekarang banyak remaja yang merubah gaya hidup dari
berbusana tertutup menjadi memakai baju you
can see, hot pants, dan rok mini. Lidah remaja saat ini lebih cocok dengan hot dog, burger, dan minuman soda
ketimbang wedang ronde dan nasi jagung. Karawitan dianggap kampungan sedangkan
musik metal dan hip hop sangat digemari. Sikap konsumtif dalam hal ini lebih
kepada perebutan citra-citraan, bagaimana sesuatu yang dicitrakan dapat mewakili
posisi dan eksistensi kedirian kita. Usia remaja adalah usia yang ingin
mendapatkan pengakuan di masyarakat. Sejak anak mulai berangkat remaja, mereka
sudah dicekoki oleh berbagai iklan, promosi soal gaul dan tidak gaul jika tidak
menggunakan merk ini itu. Juga tayangan film sinetron yang mengumbar tentang
kemewahan dan gaya hidup konsumtif mendorong anak-anak muda untuk meniru. Salah
satu keberhasilan media khususnya televisi yaitu menanamkan “citra” tertentu pada produk sehingga kalau tidak pakai
produk A, maka disebutlah norak.
Beberapa
kasus bunuh diri atau kejahatan yang melibatkan anak dan remaja belakangan ini
ironisnya disebabkan oleh kebutuhan mereka akan barang-barang mewah seperti
Blackberry. Setelah kasus penusukan kawan sekelas yang dilakukan seorang siswa
SD di Depok baru-baru ini, seorang pelajar SMP bunuh diri karena orangtuanya
tak membelikan dia BlackBerry yang dimintanya. Kenapa mereka bisa senekat itu,
karena anak dan remaja didorong oleh keinginan mereka untuk diakui di
lingkungan sebayanya.
Dampak dari globalisasi ini, mendorong
masyarakat yang berbeda kemampuan ekonomi untuk memaksakan diri demi sebuah
pengakuan publik. Efek yang paling berbahaya dari budaya konsumtif adalah
bergesernya nilai-nilai yang selama ini melekat di masyarakat. Sesuatu yang
berorientasi materi dipandang lebih baik daripada sesuatu yang berorientasi
nilai. Semangat kesetaraan juga terkikis dengan kelas-kelas sosial yang
terbentuk. Sebuah situasi yang akan mengubah secara signifikan struktur sosial
yang ada ke arah yang mengkhawatirkan, tentu hal ini patut diwaspadai dan harus
segera ditanggulangi.
Dari sini, selain sekolah yang
punya peran signifikan sebagai tempat pengajaran, peran orang tua dan keluarga
sangat penting untuk melawan penyakit konsumtif yang menjangkiti para remaja.
Dengan memberikan motivasi tentang masa depan, komunikasi rutin dan ngobrol
dari hati ke hati dalam keluarga antara orang tua dan anak-anak, akan menjadi
solusi terbaik mencegah pengaruh negatif budaya konsumerisme dan pergaulan
kurang baik pada anak-anak remaja. Tempat yang ideal untuk pendidikan adalah
keluarga. Ada kesempatan untuk saling bertukar pikiran dan membagi masalah,
sehingga anak tidak kehilangan arah karena rumah menjadi tempat yang diharapkan
untuk berlindung. Selain itu para remaja harus ditanamkan sikap kritis sejak
dini agar mampu menyaring dampak positif yang dibawa oleh arus globalisasi.
Bagaimana itu bisa membantu mereka dalam mengembangkan pengetahuan dan
mengaktualisasikan diri.
Islam pun memberikan sebuah langkah preventif terhadap budaya konsumerisme
dengan menganjurkan hidup sederhana. Seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW, beliau mengajarkan kita untuk hidup sederhana dan tidak
berlebih-lebihan. Hal yang paling utama, doa Nabi adalah memohon agar dijadikan
sebagai orang miskin. Itu artinya beliau tidak pernah mengenyam penghidupan
yang standar, apalagi berlebih. Bisa dipastikan kelebihan yang beliau miliki
selalu beliau serahkan kepada orang yang membutuhkan. Bahkan beliau tidak segan
memberikan sesuatu yang sebenarnya beliau butuhkan kepada yang yang lebih
membutuhkan. Kesederhanaan dan kepatutan yang ditawarkan menjadi batas-batas
dalam menata kehidupan. Hidup sederhana menjadi proteksi awal guna mencegah
terjangkitnya penyakit konsumerisme.
Komentar
Posting Komentar